Senin, 16 September 2013

Hidupku Tak Sepahit Jamu Ibuku



Tak ada yang istimewa dalam hidup Rofan. Dia adalah anak kedua dari empat bersaudara. Dia mempunyai seorang kakak perempuan, satu adik cewek dan satu adik cowok. Kakak perempuannya sudah memiliki keluarga. Kini, ia sudah kelas 3 STM. Tapi, pikirannya justru terus memikirkan kemanakah kakinya akan melangkah demi uang untuk membantu ibunya. Ia pasti tak tega melihat kedua orang tuanya bekerja keras demi menyekolahkan kedua adiknya.
Rofan tahu bagaimana besar perjuangan kedua orang tuanya demi menyekolahkan ia dan juga adik-adiknya. Setelah lulus nanti, ia ingin bekerja agar bisa membantu keuangan keluarganya. Ibunya hanya penjual jamu, sedangkan ayahnya hanya bekerja sebagai kuli bangunan. Dari situlah keinginannya begitu besar tertanam dalam hatinya. “Aku harus bisa membahagiakan kedua orang tuaku dan juga adik-adikku. Aku tak ingin hidupku kelak dengan anak dan istriku seperti apa yang aku alami sekarang dengan kedua orang tua dan juga adik-adikku. Tapi, aku bukannya tidak bersyukur denganmu Ya Allah. Aku hanya ingin menyemangati diriku sendiri, agar aku selalu ingat dengan perjuangan kedua orang tuaku. Aku tahu, inilah cara yang engkau berikan agar aku terpacu dan bersemangat merubah keadaanku dan keluargaku.” Kata Ropan dalam hati.
“Fan, kenapa melamun?” Tanya Ary sambil tersenyum keheranan melihat Rofan melamun. Rofan pun tersenyum malu pada Ary. Mereka adalah dua sahabat yang saling pengertian dan selalu memberi semangat satu sama lain. Rofan dan Ary lah contoh sahabat sejati dalam hidup mereka. Rofan dan Ary pun melanjutkan membaca kembali buku yang dibacanya di perpustakaan. “Aku harus semangat bekerja agar hidupku berubah mejadi lebih baik.” Rofan bersemangat dalam hati.
“Aqila, terima kasih ya, sudah mau menemaniku mengembalikan buku.” Kata Risma pada Aqila. “Iya, tidak apa-apa ko, Ma. Aku malah senang” Kata Aqila sambil menunjukkan senyumnya yang manis. Ia pun melanjutkan mencari buku yang berderet di rak kayu. “Padahal, kemarin kamu sudah ke sini mengembalikan buku.” Risma tersenyum. “Tak apa-apa, aku kan juga ingin membaca buku, Ma.” Jawab Aqila. “Sekali lagi, terimakasih, ya” Ucap Risma. Aqila pun menganggukan kepalanya, dan tersenyum pada Risma.
Mereka pun sibuk mencari buku, dan setelah Risma mendapatkan bukunya, Risma langsung duduk. Kemudian ia disapa oleh seseorang. “Risma..” Sapa Rofan. “Rofan, sering datang kesini?” Tanya Risma yang terkejut bertemu dengan Rofan di perpustakaan daerah. “Iya, sering. Hari ini aku datang sama temanku, Ary.” Rofan menjelaskan. “Iya. Minggu depan ikut kemah di sekolahanku, kan?” Tanya Risma. “Pasti, ko..” Jawab Rofan, sambil mengacungkan jempolnya. Mereka pun terlibat perbincangan. Sedangkan Ary membaca novel di samping Rofan dengan mimik serius mengikuti alur ceritanya.
“Ma, Ini novelnya bagus. Nanti kamu pinjam, ya?” Kata Aqila pada Risma, kemudian ia duduk di sampingnya. “Iya..”, Jawab Risma. Aqila dan Risma pun larut dalam buaian cerita buku yang ada di tangan mereka. Rofan pun beranjak berdiri dari tempat duduknya. Rofan terus mengarahkan pandangannya ke arah Aqila. Sepertinya, ada perasaan yang merasuk ke dalam batinnya. Ia terus menatap gadis cantik itu. Gadis berambut panjang, pendiam, kalem dan manis. Ingin sekali ia berkenalan dengannya. Tapi, ada perasaan malu terhadap gadis itu.
“Aku ingin sekali Risma mengenalkan aku dengan temannya itu. Kenapa perasannku jadi tidak karuan seperti ini, ya?” Kata Rofan mengusap kepalanya sambil tersenyum. “Hei, ngelamunin apa?” Ary mengagetkan lamunan Rofan. “Ah…, Ary. Tidak apa-apa.” Jawab Rofan tersipu malu. Gadis yang cantik dan manis. Padahal aku sudah sering bertemu dengannya di perpustakaan ini. Tapi, kenapa baru sekarang rasa tertarik itu ada, ya?
Setelah pulang dari perpustakaan, Rofan pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan untuk membuat jamu ibunya. Sepanjang perjalanan dengan menaiki sepeda pancalnya, bayangannya masih tertuju pada Aqila. Perasaanya menjadi berbunga-bunga. Ia begitu semangat mengayuh sepedanya meski terik matahari menyengat kulit tubuhnya. Sepertinya, ada semangat baru yang membasahi jiwanya, kesejukan yang begitu nikmat.
Rofan semakin keasyikan untuk berkunjung ke perpustakaan usai pulang sekolah. Ia ingin sekali bertemu dengan gadis itu. Ingin menatapnya, dan menghilangkan rasa gemuruh di hatinya. Rasa yang membuatnya tidak tenang. Perasaan yang membuatnya semangat menjalani hari-harinnya. “Mungkin, aku telah jantuh cinta pada gadis itu. Tapi, gadis itu sepertinya cuek.” Kata Rofan dalam hati. Aqila memang gadis pendiam. Hal itulah yang membuat Ropan enggan untuk menyapanya. Ia merasa takut dan gugup dengan perasaaannya. “Bagaimana, ya. Agar aku bisa mengenalnya lebih dekat?” Pikir Rofan.
Rofan pun memberanikan diri bertaya kepada Risma. Kemudian Risma pun memeberikan nomor hp Aqila. Tetapi, sejak mereka sering berbicara via sms, justru mereka berdua tidak pernah bertemu di perpustakaan. Mereka terlalu sibuk dengan bimbingan untuk menghadapi ujian. Rofan pun didera kerinduan yang teramat dalam pada Aqila. Gadis itu telah memikat hatinya. Ingin sekali ia bertemu dengannya kembali. Setelah mereka sering sms, tentu saat bertemu mereka akan terlibat obrolan secara langsung. Tetapi, saat Rofan di perpustakaan, ia tak mendapati Aqila ada di sana.
Rofan semakin takut jika tak bisa bertemu dengan Aqila kembali. Sebentar lagi mereka ujian dan mungkin Aqila kerja atau kuliah. Tentu mereka tidak akan bertemu kembali. Rofan memendam perasannya terhadap Aqila. Ia ingin sekali mengatakannya pada Aqila, kalau ia menyukainya. “Mungkin, perpustakaan ini hanya akan menjadi kenanganku dengan Aqila.” Kata Rofan. Ia pun membuka buku yang ada di hadapannya, dan mencoba larut dalam buaian penulisnya.
Tiba-tiba, suara derat pintu depan terdengar. “Aqila…” Kata Rofan dalam hati. Detak jantungnya berdegup keras, Tiba-tiba jiwanya menjadi dingin. Kesejukan menerpa wajahnya. Hatinya menjadi sumringah. Ia kagum dengan Aqila, sekarang dia sudah berubah. Jauh lebih cantik dengan Jilbab putihnya. Tapi, Aqila langsung menuju rak yang berisi majalah. Kemudian ia duduk di sebelah timur. Sedangkan Rofan dan Ary duduk di sebelah barat. Rofan hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Ia tak berani untuk mendekati Aqila, dan mengajaknya berbicara.
Aqila memang gadis yang sedikit cuek. Bahkan ia tak mengenali Rofan, orang yang selama ini sms dia. Rofan sangat senang bisa bertemu dengan Aqila setelah lama ia tidak bertemu dengannya. Tetapi, ia tak berani untuk menghampiri tempat duduknya. Padahal, ia ingin sekali berbicara langsung dengannya. “Sekarang, dia sudah berbeda. Jauh lebih cantik berbalutkan baju tertutup. Tidak seperti dulu, ketika ia memakai seragam osisnya. Roknya terlihat sepan dan ngepas. Sekarang, dia jauh lebih cantik dan anggun.” Gumamnya dalam hati yang sedang sumringah.
“Kini, Rofan dan Aqila sudah menjalani hidupnya masing-masing. Setelah kelulusan mereka berdua terpisah. Rofan bekerja di Surabaya, dan Aqila pun juga bekerja. Mereka pun tidak pernah bertemu. Rofan sudah pernah mengatakan kepada Aqila bahwa dia menyukainya. Tetapi, Aqila mengatakan bahwa ia ingin bersahabat degannya. Rofan pun menyadari, mungkin Aqila bukanlah wanita yang kelak akan menjadi jodohnya. Tapi, ia masih saja menyimpan perasannya terhadap Aqila.
Meskipun mereka berjauhan, tetapi mereka tetap berkomunikasi dengan baik. Rofan tak ingin memaksa seseorang untuk membalas perasannya. Dengan bersahabat dengan Aqila, ia merasa senang karena bisa dekat dengan orang yang ia sayangi dan cintai. Meski ada perasaan sedih dan kecewa, tetapi ia mencoba untuk menerimanya. Ia sadar siapa dirinya, ia hanya anak dari seorang penjual jamu. “Mana mungkin Aqila mau denganku.” Kata Rofan.
Ia berusaha melupakan pengalaman pahit yang ia alami. Perasan sedih ketika ia harus merelakan cintanya pergi. Tetapi, cinta untuk Aqila akan tetap ada di hatinya. Jika memang Allah berkenan menyatukan cinta ku, dan ia akan menganugerahkan cinta di hati Aqila dan akan diberikannya padaku, aku pasti bahagia. Semua itu adalah kehendak-Nya. Jika memang sekarang seperti itu adanya, aku dan Aqila hanya bersahabat.
Mungkin, suatu saat Allah akan memepertemukan kita dalam ikatan yang berbeda. Aku selalu berdo’a untuk kebaikannya. Dengaku atau bahkan tidak denganku, atau bahkan akan menjadi milik orang lain untuk selama-lamanya. Tapi, aku tak bisa menghilangkan perasannku terhadap Aqila. Biarlah cinta ini bersemayam di sanubariku. Kelak, jika Allah menggantikannya dengan orang lain di hatiku, aku pasti bisa melupakannya. Tapi, rasanya sulit bagiku untuk menerimanya.
Rofan pun memutuskan untuk fokus dengan pekerjannya. Ia tak ingin larut memikirkan perasaanya terhadap Aqila. Belum tentu Aqila juga memikirkan perasan Rofan terhadapnya. Rasa cintanya yang begitu besar terhadap Aqila. Rasa yang sulit untuk hilang dari hatinya. Namanya telah melekat dalam batinya. Bahkan ia sangat yakin suatu saat ia akan bersanding dengannya. Hati Rofan tetap yakin akan keinginannya.
Keinginan Rofan untuk bisa hidup dengan Aqila telah mendapat jawaban dari Allah. Perlahan-lahan, ada rasa cinta tumbuh di hati Aqila. Perasan takut Rofan dahulu telah menyemangatinya untuk bekerja keras demi mendapatkan hati Aqila. Setelah ia bekerja dan sukses membuka sebuah usaha, ternyata ia juga mendapatkan hadiah yang tak terduka. Rofan kembali menyatakan cintanya pada Aqila. Dan Aqila pun bersedia menerima cintanya.
Kerja kerasnya selama ini berhasil. Ia telah merubah kehidupan kedua orang tuanya. Dulunya, mereka hanyalah seorang penjual jamu dan kuli bangunan. Tapi, tekadnya untuk menjadi orang yang berhasil terpatri kuat dalam hatinya. Kini, ia bisa membahagiakan kedua orang tuanya. Bahkan, kehidupan mereka jauh lebih baik dari sebelumnya.
Rofan sangat bahagia memiliki seorang istri yang selama ini ia inginkan. Rasa cintanya yang tak pernah hilang meski Aqila tetap pada pendiriannya untuk bersahabat dengannya. Tapi, perlahan-lahan hatinya luluh dan ia menerima cinta Rofan. Keinginannya yang keras telah merubah hidupnya menjadi lebih baik. Semua itu karena ia tak ingin keluarganya terus-terusan hidup dalam kesusahan. Ia ingin hidupnya jauh lebih baik dari kedua orang tuanya.
Rofan ingin hidupnya tak sepahit jamu ibunya. Orang lain menyebutnya dengan jamu pahitan. Biasanya mereka suka membeli dari ibunya. Dulu, ia juga yang sering ke pasar membeli bahan untuk membuat jamu pahitan itu. Kini, ibunya tak usah lagi berjualan jamu. Semua kerja keras Rofan sudah bisa membantu menghidupi keluarganya. Bahkan ia juga membuaka sebuah usaha dan menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Kini, cinta dan semuanya telah ia miliki.
Selesai
Cerpen Karangan: Choirul Imroatin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar